Madiun,14-September-2014 Masjid Nur-Huda |
Secara Kebahasaan, kata “gembrung” tidak memliki makna yang jelas dan baku. Istilah ini mengacu pada kesenian dari daerah Madiun dan sekitarnya. Istilah “gembrung” sendiri berasal dari bunyi musik tersebut, ketika terbang ditabuh menghasilkan bunyi: brung dan gem.
Bentuk sya’ir berbahasa Jawa yang dinyanyikan oleh beberapa orang dan diiringi (disenggaki) oleh penjawab sya’ir, sekaligus ada iringan seperangkat alat musik tradisional adalah ciri khas dari Seni Gembrung itu sendiri. Alat musik kesenian Gembrung ini terdiri dari terbang (Bentuknya menyerupai potongan beduk tetapi seperti mangkok raksasa) terbang sendiri ada Tiga jenis yang digunakan, yaitu Terbang Besar, Sedang dan Kecil, Ketipung (Kendang kecil), dan Kendang. Kesenian ini biasanya ditampilkan selama tiga jam ataupun lebih, tergantung lagu / sya'ir yang akan dibawakan.
Menurut sejarah, shalawat kesenian gembrung sudah ada sejak masa ke-Wali-an sekitar abad 14-15 M. Kemungkinan besar kesenian ini dirintis oleh Sunan Bonang, mungkin juga oleh Sunan Kalijaga saat berada di Kudus, Jawa Tengah. Karena pendapat tersebut didukung oleh adanya bukti alat-alat musik gembrung kemungkinan merupakan modifikasi dari bedug.
Seni ini diwariskan secara turun-temurun oleh para sesepuh kesenian ini agar tidak punah, terutama di Madiun, Ponorogo, dan Ngawi. Oleh karena itu penyebaran seni ini di Jawa timur bisa ditemukan di daerah Madiun dan sekitarnya.
Hal ini misalnya ditemukan pada Paguyuban Shalawat Gembrung "Khotaman Nabi" Masjid Nur-Huda di Desa Winongo, Kota Madiun. Kesenian ini biasanya ditampilkan saat acara Syukuran, Aqiqahan, Sunatan (khitanan), Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, pernikahan, dan lain sebagainya. Tujuan kesenian ini adalah menghibur masyarakat, serta syi’ar Islam, hal ini bisa dilihat dari sya’ir-sya’ir yang dilantunkan.
Jenis lagu yang dilantunkan ada tiga macam jenis, pertama, sya’ir maulid yang dibaca dari kitab al-Barjanji dengan modifikasi sya’ir-sya’ir dari bahasa Jawa. Kedua, Jamjanen, dengan irama meliuk-liuk (jw. ngelik) yang dinisbatkan kepada pengarang Sya’ir Shalawat Jamjanen yaitu Kyai Jamjani dari Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Ketiga, adalah Shalawat Khataman Nabi.
Naskah sya’ir pada awalnya bertuliskan huruf Arab Pegon, seperti naskah versi Banjarsari yang menunjukkan tahun penulisan 1792 tahun Jawa. Pada awal pembukaan tertulis bahwa:
“Tatkala wiwit sinurat; Ing dinten Sumawarcitra; Kaping sanga tanggalira; Ing sasi Sapar Be warsa; Sinengkalan angkanira; Nembah terus guru lan nata; Mangsa katiga wukunya; Wayang Wuryan lambangnya.” [Ketika awal penulisan; Pada hari Senin; Pada tanggal sembilan; Pada bulan Sapar tahun Be; Sengkala angkanya adalah; Nembah terus guru lan nata; Pada mangsa ketiga, dan wukunya adalah; Wuku Wayang dan lambangnya bintang Wuryan.]
Berdasarkan simbol sengkala dalam naskahnya yaitu sebagai berikut:
Nembah Terus Guru lan Nata
2 9 7 1
Dari keterangan di atas bisa dilihat bahwa pembuatan naskah ini pada tanggal Aembilan, hari Senin, Wuku Wayang, Bulan Sapar, tahun 1792. Meskipun pada naskah tersebut tidak disebutkan jenis tahun yang dipakai tapi penulis berasumsi bahwa tahun tersebut adalah tahun Jawa bertepatan dengan tahun 1863 M dan 1260 H.
Dan pada tahun 1968-an sya'ir tersebut ditransliterasi ke huruf Latin. Dalam pagelaran kesenian ini yang biasa ditampilkan adalah sya’ir yang bermetrum Kinanthi, namun juga ada yang bermetrum Balabak. Dan muatan isi sya’ir yang dipakai lebih ke arah penggambaran kisah Isra’ dan Mi’rajnya Rasulullah Saw. hal ini dikatakan dalam sya’ir shalawat gembrungan:
“Nyaritaaken migroje; Njeng duta ning Yang kalane; Neng sak jroning Baitul Kharom; Bagdo Ngisak wancine; Nuju wulan Rajab; Kaping pitu likur tanggale.” [Menceritakan Mi’roj (Rasulullah); Yaitu yang menjadi utusan Tuhan; Pada saat berada di Baitul Haram; Tepatnya setelah waktu Isya’; Pada saat bulan Rajab; Tanggal dua puluh tujuh.]
Di dalam lingkup kesenian Gembrung ini, para senimannya pun ingin menunjukkan bahwa Islam itu bersifat "Rahmatan lil ‘alamin" dan selalu toleran terhadap budaya-budaya lokal dan berusaha menyelaraskan dirinya dengan budaya tersebut. Islam memberikan muatan materi yang mengandung nilai ibadah dan dakwah, sedangkan budaya lokal memberikan metrum lagu sebagai metode penyampaian materinya. Sehingga budaya lokal seperti sya’ir yang mendapat muatan materi Islam bukan hanya digunakan sebagai hiburan saja, akan tapi juga sebagai sarana ibadah dan dakwah, sehingga budaya ini pun akan memiliki nilai seni yang tinggi.